NAFSU MANUSIA
Tiga Karakteristik Nafsu
Para penempuh jalan menuju Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan beragam
cara dan metode bersepakat bahwa nafsu adalah faktor yang menghalangi
hati untuk sampai kepada Allah. Mereka juga bersepakat, tidak ada
seorang pun yang dapat masuk dan sampai kepada Allah kecuali jika sudah
membunuh, menyelisihi, dan memenangkan pertarungan atasnya. Begitulah,
manusia itu ada dua kelompok. Pertama, manusia yang dikalahkan, dikuasai
dan dihancurkan oleh hawa nafsunya. Ia benar-benar tunduk di bawah
perintahnya. Kedua, manusia yang berhasil memenangkan pertarungan
melawannya. Ia mampu mengekangnya, menundukannya, dan nafsu pun tunduk
di bawah perintahnya.
Sebagian orang arif berkata, "Akhir dari
perjalanan para thalibin (orang-orang yang mencari) adalah ketika
mereka telah berhasil menundukkan nafsunya. Siapa pun yang demikian
keadaannya telah berhasil dan sukses. Sebaliknya siapa saja yang
dikalahkan oleh nafsunya telah gagal dan hancur. Allah subhanahu wa
taala berfirman,
"Adapun
orang yang durhaka, lagi mengutamakan kehidupan dunia. Maka neraka
Jahimlah tempat tinggalnya. Sedangkan orang yang takut akan kebesaran
Rabbnya, lagi menahan diri dari hawa nafsunya. Maka surgalah tempat
tinggalnya. (QS An-Nazi'at: 37-41) Nafsu itu menyeru kepada sikap
durhaka dan mendahulukan dunia. Sedangkan Allah subhanahu wa talaa
menyeru hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan menahan diri dari hawa
nafsunya. Jadi, hati manusia itu ada di antara dua penyeru. Kadangkala
ia condong kepada yang satu, dan kadang pula condong kepada yang
lainnya. Di sinilah ujian dan cobaan.
Di dalam al-Qur'an Allah
subhanahu wa ta'ala menyebut nafsu dengan tiga sifat: muthmainnah,
lawwaamah dan ammaarah bis suu'. Selanjutnya manusia berbeda pendapat,
apakah nafsu itu satu dan yang tiga adalah sifatnya? Ataukah setiap
manusia itu memiliki tiga nafsu.
Pendapat pertama adalah pendapat
fuqaha' dan para mufassir. Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat
mayoritas ahli tashawwuf. Tetapi pada hakekatnya tidak ada pertentangan
antara dua pendapat ini. Sebab memang nafsu itu satu jika ditinjau dari
sisi dzatnya, dan tiga jika ditinjau dari sisi sifatnya.
NAFSU MUTHMAINNAH
Apabila nafsu tenang dan tentram dengan dzikrullah, tunduk kepada-Nya,
rindu akan perjumpaan dengan-Nya, serta jinak kala dekat dengan-Nya,
maka kepadanya dikatakan – ketika menemui ajalnya -,
"Wahai nafsu muthmainnah! Pulanglah kepada Rabbmu dengan penuh ridla dan diridlai! (QS Al-Fajr: 27-28)
Ibnu Abbas menafsirkan muthmainnah dengan mushaddiqah, membenarkan kebenaran.
Qatadah berkata, Yaitu seorang mukmin yang nafsunya tenang dengan apa
yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Tenang di pintu ma'rifah
terhadap asma' dan shifat-Nya dengan berdasarkan kabar dari-Nya
(al-Qur'an) dan dari Rasul-Nya (as-Sunnah). Tenang atas kabar yang
datang tentang apa yang terjadi setelah kematian, alam barzakh, dan
kejadian di hari kiamat, seakan-akan melihatnya dengan mata telanjang.
Tentram atas takdir Allah, menerima dan meridhainya, tidak benci dan
berkeluh kesah, tidak pula terguncang keimanannya, tidak berputus asa
atas sesuatu yang lepas darinya, pun tidak berbangga atas apa yang
dimilikinya. Sebab, semua musibah telah ditakdirkan oleh-Nya jauh
sebelum musibah itu sampai kepadanya, bahkan sebelum ia diciptakan.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Tidak ada musibah yang datang
kecuali dengan izin dari Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada
Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya". (QS
At-Taghabun: 11)
Tidak
sedikit dari para salaf yang menafsirkannya sebagai seseorang yang
ditimpa musibah, ia mengerti bahwa musibah itu datang dari Allah,
sehingga ia ridha dan pasrah.
Adapun yang dimaksud dengan
thuma'ninah ihsan adalah ketenangan seseorang dalam melaksanakan
perintah dengan ikhlas dan setia. Tidak mendahuluinya dengan satu
keinginan atau pun hawa nafsu. Juga bukan karena ia tidak dihinggapi
suatu syubhat yang mengaburkan kabar-Nya, atau syahwat yang bertentangan
dengan perintah-Nya. Bahkan jika suatu ketika datang, ia akan
menganggapnya sebagai gangguan yang baginya lebih baik terjun dari
langit ke bumi daripada mengecapnya, walau sesaat. Inilah yang dimaksud
oleh nabi sebagai sharimul iman (iman yang jelas). Juga, ia tenang dari
kegelisahan untuk bermaksiat dan gejolaknya menuju taubat dan
kenikmatannya.
Bila diri tenang telah berpindah dari keraguan kepada
keyakinan, dari kebodohan kepada ilmu, dari kealpaan kepada dzikir,
dari khianat kepada taubat, dari riya' kepada ikhlas, dari kedustaan
kepada kejujuran, dari kelemahan kepada semangat yang membaja, dari
sifat 'ujub kepada ketundukan, dan dari kesesatan kepada ketawadhuan,
ketika itulah nafsu telah tentram, muthmainnah.
Pondasi dari itu
semua adalah yaqzhah, kesadaran. Kesadaranlah yang menyibak kealpaan dan
kelalaian diri. Ia pulalah yang menampakkan baginya taman surga. Ia
bersenandung.
Tahukah kau, duhai nafsu?
Celaka bila… engkau bergembira
Bantu aku dalam pekatnya malam
Moga cita nikmat hidup… dalam menjulang
Sesudah hancur segala
Di bawah cahaya kesadaran, diri akan melihat semua yang diciptakan
untuknya. Juga, apa yang akan ditemuinya di alam barzakh, sampai
memasuki negeri abadi. Ia juga melihat betapa cepat dunia berlalu,
betapa sedikit dunia memberikan kenikmatannya kepada anak-anaknya dan
orang-orang yang merindukannya, dan betapa dunia membunuh mereka dengan
belati-belatinya. Maka bangkitlah ia seraya berseru:
"Duhai, betapa meruginya aku atas keteledoranku di sisi Allah" (QS Az-Zumar: 56)
Selanjutnya, ia akan menggunakan sisa umurnya untuk melengkapi
kekurangan, menghidupkan yang telah ia matikan, membenahi puing-puing
masa silam, dan memanfaatkan setiap kesempatan – yang jika terlewat,
terlewat pulalah seluruh kebaikan.
Masih di bawah cahaya kesadaran
dan cahaya nikmat Rabbnya kepadanya, ia melihat betapa ia tak mampu lagi
menghitungnya, betapa ia tak mampu memenuhi haknya, betapa ia penuh
dengan aib, juga amal-amalnya yang rusak, kejahatan-kejahatannya,
dosa-dosanya, serta kelalaiannya terhadap tugas dan kewajiban yang tidak
sedikit.
Akhirnya
luluh sudah nafsunya, khusyu' sudah anggota badannya, dan ia pun
berjalan menuju Allah subhanahu wa ta'ala dengan kepala tertunduk oleh
banyaknya nikmat yang ia saksikan serta kejahatan, aib dan dosa dirinya.
Kini, ia tahu betapa berharga waktu yang dimilikinya. Juga bahwa ia
adalah modal utama kejayaannya. Maka bakhillah ia terhadapnya jika bukan
untuk upaya mendekatkan diri kepada Rabbnya. Sungguh, membuang-buang
waktu adalah kerugian, sedangkan menjaganya adalah kemenangan dan
keberuntungan.
Inilah buah dari yaqzhah dan implikasinya, yang
merupakan langkah awal dari nafsu muthmainnah dalam perjalanannya menuju
Allah dan kampung akhirat.
NAFSU LAWWAMAH
Ia adalah nafsu yang
selalu berubah keadaan. Ia sering berbalik, berubah warna. Kadang ia
ingat, kadang alpa. Kadang ia sadar, kadang berpaling. Kadang ia cinta,
kadang benci, kadang ia gembira, kadang sedih. Kadang ia ridla, kadang
murka. Kadang ia taat, dan kadang ia khianat.
Sebagian orang
mendefinisikannya sebagai nafsu seorang mukmin. Al-Hasan al-Bashri
berujar, "Seorang mukmin itu selalu mencela (lawwamah artinya banyak
mencela, pent) dirinya. Ia terus berkata: Apa yang kau inginkan dari
semua ini? Mengapa kau lakukan ini? Sungguh ini lebih baik daripada yang
ini! Atau yang semisalnya."
Ada juga yang mengartikannya dengan celaan pada hari kiamat. Pada hari itu setiap pribadi akan
mencela
dirinya sendiri. Jika ia pendurhaka, atas kedurhakaannya, dan jika ia
seorang yang taat, atas keteledoran dan kekurangannya. Ibnul Qoyyim
berkata, "Semua pengertian di atas benar."
Lawwamah itu ada dua. Lawwamah yang tercela dan lawwamah yang sebaliknya.
Yang pertama adalah nafsu yang dungu dan menganiaya diri sendiri. Ia
dicela oleh Allah dan para malaikat. Sedangkan yang kedua adalah nafsu
yang selalu mencela pemiliknya karena kekurangannya dalam ketaatan
kepada Allah subhanahu wa ta'ala – padahal ia sudah berusaha sekuatnya –
Nafsu ini tidak dicela. Bahkan nafsu yang paling utama adalah nafsu
yang mencela diri atas kekurangtaatannya kepada Allah, dan ia siap
menerima celaan dalam menggapai ridla-Nya. Demikianlah ia terbebas dari
celaan Allah. Berbeda dengan orang yang puas atas amal yang
dikerjakannya, dan ia tidak dicela oleh nafsunya, lalu tidak siap
menerima celaan dalam menggapai ridla-Nya. Dialah yang dicela oleh
Allah.
NAFSU AMMARAH BIS SUU'
Inilah nafsu yang tercela. Ia
selalu mengajak kepada keburukan, dan itu memang tabiatnya. Tidak ada
seorang pun yang dapat selamat dari kejahatannya selain orang-orang yang
mendapatkan taufiq dari Allah subhanahu wa ta'ala. Allah mengisahkan
tentang istri menteri al-Aziz,
"Dan aku tidak berlepas tangan dari
nafsuku. Sesungguhnya nafsu itu selalu menyeru kepada kejahatan. Kecuali
yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang" (QS Yusuf: 53)
Dan firman-Nya,
"Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, niscaya
tidak ada seorangpun dari kalian yang bersih-suci, selamat-lamanya."
(QS An-Nur: 21)
Rasulullah shalalallahu alaihi wa salam mengajarkan kepada para sahabat khutbah hajah,
"Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan
memohon ampunan kepada-Nya. Kita juga berlindung kepada Allah dari
kejahatan nafsu kita dan keburukan amal-amal kita."
Kejahatan itu
tersimpan di dalam nafsu. Ia akan mengajak kepada amal-amal yang buruk.
Apabila Allah membiarkan seorang hamba bersama nafsunya, ia akan binasa
di tengah-tengah kejahatan nafsu dan amal buruknya. Apabila Allah
memberikan taufiq dan memberikan pertolongan kepadanya, niscaya
selamatlah ia dari semuanya. Oleh karenanya kita memohon kepada Allah
yang maha Agung untuk melindungi kita dari kejahatan nafsu dan amal
buruk kita.
Ringkas kata, nafsu itu satu saja. Ia bisa menjadi
ammarah, lawwamah atau muthmainnah, yang merupakan puncak kebaikan dan
kesempurnaannya.
Diambil dari buku Tazkiyah An-Nafs, Konsep
Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Ibnu Rajab
al-Hambali, dan Imam Ghazali, ditahqiq oleh Dr. Ahmad Farid, Penerbit
Pustaka Arafah Solo, halaman 67-73
Tidak ada komentar:
Posting Komentar