Olleh:Nadiasafaqoh A.R.S
Pendahuluan
Sudah tidak asing lagi istilah
Tindak Pidana di telinga kita, apalagi di Indonesia, dimana setiap hari kita
mendengar, melihat, dan membaca berita-berita terkini mengenai Tindak Pidana.
Akan tetapi, ada beberapa contoh kasus tindak pidana yang menurut sudut pandang
masyarakat sangat tidak mencerminkan ciri-ciri keadilan, salah satunya adalah
Tindakan Pidana Ringan (Tipiring).
Banyak sekali kasus-kasus tindakan
pidana ringan yang sering menjadi bahan perbincangan oleh rakyat dan dasar
argumen untuk mengkritik dengan keras keadilan dan hukum di Indonesia, bahkan
beberapa dari kasus tersebut menjadi berita yang sangat konterversial bagi
masyarakat. Contohnya kasus nenek minah yang mencuri buah kakao divonis hukuman
penjara selama satu bulan 15 hari dengan masa tiga bulan percobaan dan kasus
siswa SMK yang mencuri sendal jepit anggota brimob di palu diancam hukuman 5
tahun penjara, contoh kasus tersebut lah yang membuat masyarakat berpikir “Ada
apa dengan keadilan di Negeri ini?” “Hukum di Indonesia sangat bermasalah!”.
Dimana keadilan yang diteriakan oleh
rakyat selama ini? Apakah isi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah cukup
untuk mencakup kasus-kasus yang sering dijumpai oleh masyarakat miskin ?
Bagaimana solusi agar aroma keadilan dapat dihirup dirasakan kembali oleh
masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari?
Pembahasan
1.
Keterbelakangan Hukum Pidana di Indonesia
Selama ini Indonesia masih memakai
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana buatan Belanda sebagai salah satu sumber hukum
pidana. Kitab tersebut dibuat pada tahun 1881 setelah Belanda merdeka dari
Perancis dan secara otomatis diterapkan bagi orang-orang Belanda yang pada saat
itu berada di Indonesia. KUHP merupakan salah satu warisan yang paling
berpengaruh bagi hukum Indonesia, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia, KUHP
langsung diangkat menjadi salah satu sumber hukum utama bagi tindakan pidana di
Indonesia, bahkan sampai saat ini, Indonesia masih tetap setia menggunakan KUHP
yang dibuat ratus-ratusan tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa hukum di
Indonesia sangat jauh dibelakang dari hukum yang lain, belanda pun sekarang
sudah tidak lagi menggunakan KUHP yang mereka pertama kali buat, mereka telah
meng-update KUHP mereka. Sedangkan di Indonesia, pembaruan beberapa
pasal-pasal yang saat ini dinilai kurang efektif dan kurang mencerminkan
keadilan pun tidak dirubah sama sekali, contohnya untuk beberapa pasal yang
menentukan tindak pidana ringan seperti pencurian, penggelapan, penipuan,
penadahan lain-lain. Misal kita ambil contoh pasal 362 dan pasal 364 tentang
pencurian yang berbunyi:
Pasal
362
“Barang siapa mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud
memiliki secara melawan hukum, diancam pencurian, dengan Pidana Penjara paling
lama lima tahun atau Pidana Denda paling banyak sembilan ratus rupiah”
Pasal
364
“Pembuatan yang diterangkan dalam
pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam
pasal 363 butir 5, apabila dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yag dicuri tidak lebih dari dua
puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan Pidana Penjara paling
lama tiga bulan atau Pidana Denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”
Dua pasal diatas menjelaskan bila
sebuah seseorang mencuri suatu barang yang bernilai di atas dua ratus lima
puluh rupiah dapat ditunut ke pengadilan, misal ada seorang pria cakap hukum
mencuri permen kakaknya yang seharga lima ratus rupiah, maka menurut pasal
diatas, pria tersebut dapat dituntut dan diancam Pidana Penjara selama 5 tahun,
atau misal kita ambil contoh kasus yang lebih ekstrim, seorang kakek yang
bekerja sebagai buruh tani selesai mengambil hasil panen padi milik tuannya dan
langsung pulang, saat hari itu panasnya matahari sangat menyengat dan karena
kelelahan bekerja seharian si kakek pun kehausan, tetapi karena tidak punya
uang seperak pun, sang kakek tidak mampu membeli air minum. Dalam perjalanan
pulang, si kakek melewati kebun semangka yang dimiliki oleh suatu perusahaan
lokal dan semangkanya sudah diambil semua untuk dijual dipasar, tetapi di kebun
tersebut tinggal sisa-sisa panen semangka yang gagal dan tidak layak untuk
dijual. Karena lelah dan kepanasan, si kakek tidak sanggup lagi menahan rasa
hausnya yang telah ditahan seharian, kemudian dia mengambil satu semangka yang
paling jelek, memotongnya, dan mencoba meminum beberapa tetes air yang ada di
dalam semangka tersebut. Tiba-tiba ada salah satu karyawan yang memergoki sang
kakek sedang meminum semangka itu. Terbukti melakukan tindakan pencurian,
perusahaan lokal tersebut menuntut kakeknya dengan pasal 362 KUHP dan mengancam
hukuman penjara 5 tahun.
Jika dalam dua kasus tersebut
penggugat dimenangkan dalam pengadilan, maka dengan sahnya para tegugat harus
menjalankan hukuman penjara sesuai dengan keputusan hakim. Bila kita melihat
dari sudut pandang hukum, jelas si pria dan si kakek wajib dihukum secara
pidana, akan tetapi, ketika kita melihat dari sudut pandang keadilan, sangat
jelas bahwa kedua kasus tersebut bila dimenangkan oleh penggugat akan
menimbulkan kontreversi yang sangat dahsyat di mata masyarakat.
Dua contoh kasus diatas menunjukan
bila ada suatu perkara yang melibatkan permasalahan yang sepele dan dalam
pengadilan yang memenagkan kasusnya adalah si penggugat dan si tergugat wajib
menerima hukuman sesuai dengan putusan hakim yang berdasarkan pasal-pasal KUHP
seperti dua pasal diatas, maka dengan jelas hasil dari kasus tersebut tidak
mencerminkan keadilan sama sekali dan beberapa pasal di KUHP perlu di revisi
ulang dan harus menyesuaikan diri dengan keadaan Indonesia sekarang.
2.
Tanggapan Pemerintah mengenai Tindak Pidana Ringan
Beberapa pasal di Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana perlu dilihat kembali dan dimodofikasi sesuai dengan
keadaan Indonesia dan kondisi masyarakat sekarang. Terutama beberapa pasal
dalam KUHP yang membahas tentang tindak pidana ringan seperti pencurian,
penipuan, penggelapan, penadahan dan perbuatan lainnya yang masih belum bisa
memberikan solusi yang benar-benar memihak kepada keadilan dan kepuasan
masyarakat. Seperti di pembahasan sebelumnya, hukum pidana di Indonesia
terutama KUHP harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan
masyarakat dan kondisi di Indonesia, mungkin memang benar bahwa Indonesia masih
dikategorikan sebagai negara muda dan masih dapat dimaklumi jika negara kita
belum bisa menciptakan sebuah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri, tetapi
bukan berarti hukum di Indonesia harus tetap menggunakan hukum Belanda jadul
sampai sekarang.
Akhir-akhir ini setelah kejadian
kasus tentang tindak pidana ringan seperti kasus “Pencurian Buah Kakao Nenek
Minah” dan kasus “Pencurian Sandal Jepit Polri Oleh Siswa SMK”, pemerintah
lebih siaga dalam menghadapi kasus tindak pidana ringan seperti dua kasus
tersebut. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah jika ada kasus tindak
pidana ringan yang memberatkan tergugat?
Mahkamah Agung telah membuat sebuah
peraturan[1] yang mengatur masalah mengenai kasus yang melibatkan tindak
ringan. Dalam peraturan tersebut terdapat modifikasi beberapa pasal dalam KUHP
yang membahas tentang tindak pidana ringan, salah satunya adalah jika ada
perbuatan pencurian yang merugikan seseorang dibawah Rp. 2.500.000,00 maka
perbuatan tersebut termasuk tindak pidana ringan. Dalam peraturan tersebut,
jika seseorang terbukti melakukan suatu tinfak pidana ringan, maka yang akan
mengadili orang tersebut hanya hakim tunggal dan dikenai hukuman administrasi
sepert denda pembayaran ganti rugi, kerja di pelayanan umum, dan sebagainya.
Masih banyak hal dalam peraturan peraturan MA tersebut yang merubah hukum bagi
tindak pidana ringan dan berpengaruh kepada rasa keadilan masyarakat.
3.
Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Ringan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah merubah batasan pidana denda dalam
perkara-perkara tindak pidana ringan sebagaimana tercantum dalam Pasal 364 KUHP
(pencurian ringan), 373 KUHPidana (pengelapan ringan), 379 KUHPidana (penipuan
ringan), 384 KUHP (keuntungan dari penipuan), 407 KUHP (perusakan ringan) dan
pasal 482 KUHP (penadah ringan) yang semula dibatasi minimal Rp 250,- (dua
ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp 2.500.00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Batasan pidana denda sebesar Rp 250,- adalah batasan pidana denda yang disusun
berdasarkan kondisi perekonomian tahun 1960-an yang tentunya bila dikonversi
dengan kondisi perekonomian tahun 2000-an seperti sekarang ini sudah tidak
relevan lagi. Dengan batasan pidana denda sebesar Rp 250,- penyidik,
penuntut umum dan hakim tidak lagi dan tidak menganggap adanya pasal-pasal
tindak pidana ringan sebagaimana diatur Pasal 364, 373, 379,
384, 407 dan pasal 482 KUHPidana. Kesemua pelaku yang terkait pencurian, pengelapan,
penipuan, perusakan dan penadahan dianggap sama dan ditetapkan upaya penahanan
atas diri si pelaku. Tidak heran, pada akhirnya timbul kegalauan di masyarakat
tentang arti keadilan hukum bagi masyarakat kecil. Masyarakat melihat adanya
ketimpangan hukum antara penjahat kecil dengan penjahat kelas kakap, pencuri
sandal jepit dengan koruptor, kejahatan dengan motif lapar dengan kejahatan
dengan motif ekonomi, karena kesemuanya disamaratakan dan kesemuanya dilakukan
upaya penahanan !!! jika tidak ada lagi peng-kotegori-an tindak pidana ringan,
tidak ada lagi batasan nilai barang atau jumlah uang yang menjadi objek perkara
tentunya kegalauan masyarakat dapat berimbas dan berefek negatif tentang arti
keadilan hukum.
Mengacu pada tujuan dan keadilan
hukum, Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 adalah langkah Mahkamah Agung
yang layak diapresiasi karena telah mengingatkan dan memerintahkan kepada Hakim
untuk memperhatikan batasan nilai barang atau jumlah uang yang menjadi objek
perkara. Dengan Perma ini, Hakim patut memperhatikan ketentuan-ketentuan
tentang penahanan sekaligus mengkualifikasikan kembali arti tindak pidana
ringan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Perma No. 2 Tahun
2012 yang pada pokoknya memerintahkan Ketua Pengadilan bila menerima limpahan
perkara pencurian, pengelapan, penipuan, perusakan
dan penadah dari Penuntut Umum dengan nilai barang atau uang dibawah Rp.
2.500.000 (dua juta lima ratus ribu) segera menetapkan Hakim tunggal dan
memeriksa perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat. Dalam ayat
selanjutnya, yakni Pasal 2 ayat (3), pada pokoknya Mahkamah Agung juga
menetapkan bahwasanya terhadap pelaku tidak perlu ditetapkan upaya penahanan
dan bila selama pemeriksaan ditahan supaya dibebaskan.
Kesimpulan
Dengan Perma No.02 Tahun 2012 ini kiranya
dapat menghapus kegalauan masyarakat terkait perkara-perkara yang sesungguhnya
adalah perkara ringan namun terkesan menjadi perkara yang berat dan mengusik
rasa keadilan di masyarakat. Namun kiranya dapat dipahami pula bahwasanya Perma
No.02 Tahun 2012 tidak menghilangkan sifat pidana atas perbuatan kejahatan yang
dilakukan oleh si pelaku. Siapapun yang menjadi pelaku tetap dihukum dan memang
harus dihukum.
[1]
Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar